Jumat, 22 Januari 2010

Kalau Taufik Kiemas, tokoh PDIP memuji RAPBN 2010 yang diajukan pemerintahan SBY, tapi orang lain mengkritik. Terutama yang dikritik adalah anggaran pendidikan.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mengalokasikan dana 20 persen dari total anggaran untuk pendidikan. Radio Nederland Wereldomroep menghubungi Sumantri, pakar pendidikan di Jakarta untuk menanyakan komentarnya.
Sumantri: "Jatuhnya ke pengguna atau masyarakat itu tidak pure [murni, Red.] 20%. Contohnya begini. Untuk tunjangan guru, gaji guru ternyata dibebankan kepada 20% itu. Padahal itu untuk hitungan sekarang, itu tidak jatuh 20%."
RNW: "Jadi kira-kira berapa jatuhnya itu Pak?"
10 persen
Sumantri: "Jatuhnya itu bisa hanya antara sepuluhanlah, sepuluh persen dari angka anggaran APBN. Temen-temen menganalis, ya seperti ini pak. Guru itu harusnya, gaji guru, dosen segala macem, terutama gaji guru itu tidak masuk dalam budgeting duapuluh persen itu."
"Tapi ke anggaran yang lain, anggaran kepada anggaran yang lain dari 80% yang lain, tidak dibebankan kepada pendidikan itu sendiri. Ternyata itu dimasukkan ke duapuluh persen itu. Sehingga jatuhnya kan tidak dua puluh persen."
"Pos-pos untuk penggajian guru itu tidak masuk di dua puluh persen itu, tapi ternyata dimasukkan ke situ."
RNW: "Berarti banyak sekali yang dimasukkan ke sana ya."
Sumantri: "Betul."
RNW: "Padahal kita bicara juga soal kualitas pendidikan, dan soal terlalu mahalnya uang kuliah, uang sekolah, begitu?"
Stimulan
Sumantri: "Betul, betul. Sedangkan kebijakan DPR juga, dengan adanya kebijakan BHP (Badan Hukum Pendidikan). Itu semua dikembalikan kepada masyarakat. Tanggung jawab pendidikan itu seolah-olah tanggung jawab masyarakat. Pemerintah hanya sebagai stimulan saja begitu."
RNW: "Jadi apakah anda tidak mengkhwatirkan bahwa pendidikan di Indonesia bertambah eliter kalau begitu ya?"
Sumantri: "Persis, karena pendekatannya itu liberal. Jadi siapa yang memiliki uang itulah yang memiliki hak untuk menikmati pendidikan. Karena beberapa sekolah itu kecenderungan ya, memang sih dengan ada klise ada subsidi silang."
"Tapi belum bisa dibuktikan seperti untuk pengucuran-pengucuran beasisiwa itu untuk siapa yang memperoleh itu masih ditebang pilih, gitu pak."
RNW: "Tapi kan di Indonesia sekarang ada beberapa pemda, saya dengar ada gurbernur, seperti gurbernur Sumatra Selatan mengatakan ada pendidikan gratis, begitu ya. Sebenarnya memang murni atau hanya sekedar show saja atau bagaimana. Kok bisa, dari satu segi ada pendidikan gratis, di segi lain pendidikan jadi eliter, bagaimana itu?
Murni
Sumantri: "Memang beberapa faktor dengan adanya otonomi daerah, lalu juga otonomi pendidikan, ada juga gurbernur-gurbernur atau bupati-bupati yang betul-betul pure memang memperjuangkan pendidikan." 
"Saya bisa sebut beberapa daerah, seperti Bali, saya lupa namanya, di Gorontalo, di daerah Fak-Fak di sana. Ada beberapa, bupati-bupati yang memang pure, tapi semuanya, kalo yang lain ya hanya janji-janji saja."
RNW: "Dan gurbernur Sumatra Selatan yang saya dengar juga begitu ya. Tapi ini kok bisa begitu. Jadi realitasnya kan bisa sangat berbeda sekali begitu ya, bagaimana menurut Anda?"
Sumantri: "Ya karena sebetulnya kebijakan yang dari atas sudah bagus ketika ke level-level ke bawah itu yang banyak penyalahgunaan. Kalau menurut saya, seperti itu."
RNW: "Terakhir pak Sumantri, jadi menurut Anda sebaiknya bagaimana itu, sebenarnya pendidikan di Indonesia itu. Anggarannya semestinya berapa supaya memadai?"
Gradual
Sumantri: "Sebaiknya mengucurkan dengan murni, 20% betul-betul digunakan untuk pendidikan. Dan itu betul-betul dikucurkan secara gradual. Itu saya pikir akan memperbaiki anggaran pendidikan dengan baik."
"Terus proyek-proyek yang diselenggarakan oleh pemerintah, Departemen Pendidikan Nasional, itu sudah harus dirampingkan. Ada direktorat-direktorat, seksi-seksi yang sebetulnya tidak perlu, yang overlapping [tumpang tindih, Red]. Itu seharusnya dihilangkan, pak."
"Penghematan dalam hal manajemen, keuangannya itu yang belum tertata dengan baik. Menurut saya seperti itu."
 

Sabtu, 09 Januari 2010

arizaljayusman.blogspot.com/arizal_jayusman2000@yahoo.com

Munculnya Sekolah Berstandar Internasional Indonesia dianggap sebagai langkah maju tumbuhnya perkembangan pendidikan setara luar negeri atau Internasional. Pengembangan SBI sendiri didasarkan pada UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 50 ayat 3 yang secara garis besar ketentuan ini berisi bahwa pemerintah didorong untuk mengembangkan satuan pendidikan bertaraf internasional. Visi Sekolah Internasional sendiri yakni mewujudkan insan Indonesia cerdas, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Y.M.E, berakhlak mulia, berjati diri Indonesia, dan kompetitif secara global. Dengan adanya dasar dan visi pengembangan Sekolah Berstandar Internasional tersebut pemerintah terus berusaha menyertakan ratusan SMP dan SMA seluruh Kabupaten/Kotamadya di Indonesia dengan memberikan sokongan dana ratusan milyar rupiah. Pembentukan Sekolah Berstandar Internasional sendiri harus mengacu pada standar perumusan SBI yakni SBI = SNP + X. SNP adalah Standar Nasional Pendidikan dan X adalah penguatan untuk berdirinya SBI seperti sebagai penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan, pendalaman, adopsi terhadap standar pendidikan baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional umpamanya Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO, UNESCO. SNP sendiri memiliki 8 kompetensi yakni lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarpras, dana, pengelolaan dan penilaian. Secara konsep, memang siswa Sekolah Internasional dirintis untuk menyamai kurikulum internasional seperti pada Cambridge atau International Baccalaureate (IB), dari sisi ini fungsional ketika siswa SBI sedikit menyamai Cambridge atau IB masih tanda tanya. Output SBI yang sudah ada akan diarahkan kemana nantinya, terutama ketika mereka akan menginjakkan pendidikan di Universitas. Konsep SBI secara tujuan dan visi memang sangat bagus, dimana siswa sudah terlatih untuk berkomunikasi secara global dengan bahasa Inggris. Siswa SBI juga memiliki pengalaman belajar yang sama dengan IB atau Cambridge. Ada beberapa hal sebenarnya untuk menjadikan pendidikan di Indonesia maju tetapi secara sistematis dan konseptual. Sedikit ilustrasi, nama SBI yang sudah tercanangkan ini dapat diganti dengan program sekolah yang berbasis bilingual. Adanya English club atau pemusatan sekolah dengan melibatkan bahasa inggris akan lebih baik dari SBI. Ini dilihat dari proses SBI yang menekankan pada bahasa Inggris, tapi apakah pemahaman akan mata pelajaran juga meningkat. Hal lain adalah, nama SBI itu sedikit ”menyeramkan” karena masyarakat akan menilai Sekolah Anak SBI benar-benar seperti sekolah luar negeri, tapi ketika siswa luar negeri dihadapkan pada siswa SBI secara nyata akan terlihat perbedaan yang jauh. Dari sisi itu seharusnya siswa Sekolah Anak SBI memiliki kemampuan sama dengan siswa luar negeri, karena pemerintah juga berani menggunakan titel bertaraf internasional. Pemunculan SBI mengundang sedikit kontroversi terutama ketika dihadapkan pada multikultural di Indonesia. Titel taraf Internasional memberikan image tersendiri bagi masyarakat. Untuk apa dan siapa SBI ini juga masih menjadi polemik, karena siswa SBI didominasi oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke atas, selain itu siswa Sekolah Berstandar Internasional hanya untuk siswa diatas rata-rata SNP. Output SBI juga masih samar terutama ketika siswa ingin melangkahkan pendidikan lanjutan. Pemerintah memang harus jeli dalam membuat kebijakan pendidikan agar peningkatan pendidikan di Indonesia melonjak, bukan berarti melonjak adalah mengikuti/menyamai luar negeri tapi mendongkrak masyarakat bawah yang sebelumnya awam pendidikan menjadi paham pendidikan.. Sumber: kabarindonesia.com Untuk informasi lebih lanjut, silahkan lihat di Sekolah Internasional - Sekolah Berstandar Internasional - Sekolah Berstandar - Sekolah Anak dan Sekolah Internasional : Sekolah Berstandar Internasional & Sekolah Internasional Anak di 88db.com

;;